MALUKU SEBAGAI LUMBUNG IKAN NASIONAL
I. DEFENISI MASALAH KEBIJAKAN
Lumbung Ikan
dalam program ini diartikan sebagai kawasan penghasil ikan utama di Indonesia
secara berkelanjutan, yang pengelolaannya terintegrasi di dalam kerangka Sistem
Logistik Ikan Nasional (SLIN).
Sistem Logistik
Ikan Nasional (SLIN) diartikan sebagai rangkaian kegiatan pengelolaan produksi,
pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan pemasaran hasil kelautan perikanan,
yang dilakukan secara bertahap dan saling berkaitan pada level nasional, agar
tercipta jaminan ketersediaan, stabilitas harga, ketahanan pangan, menjaga
kualitas ikan, serta mendorong pertumbuhan industri pengolahan dan pertumbuhan
ekonomi masyarakat.
II. BUKTI PERMASALAHAN
Ikan
secara nyata telah menjadi salah satu komoditi pangan penting dalam memenuhi kebutuhan domestik Indonesia dan
juga masyarakat dunia. Konsumsi ikan secara global saat ini semakin
meningkat. Peningkatan konsumsi ikan disebabkan oleh beberapa faktor
diantaranya : (a) Meningkatnya
jumlah penduduk serta meningkatnya pendapatan masyarakat dunia, (b)
Meningkatnya apresiasi terhadap makanan sehat (healthy food) (rendahnya
kandungan kolesterol, tinggi asam lemak tak jenuh ganda omega-3, dan komposisi
asam amino yang lebih lengkap) sehingga mendorong konsumsi daging dari pola red meat ke white meat,
dan (c) Berjangkitnya penyakit hewan sumber protein hewani
selain ikan seperti sapi gila, anthraks, dan flu burung. Sehingga produk
perikanan menjadi pilihan alternatif terbaik. Terjadinya perubahan paradigma
dan pemahaman masyarakat tersebut, maka ikan dirasakan sebagai salah satu
pilihan terbaik bagi salah satu sumber protein penting dan diperlukan dukungan
yang tinggi dari pemerintah terhadap penyediaan pangan hewani.
1.1.
Potensi Kelautan Perikanan
Maluku merupakan salah satu provinsi kepulauan dengan luas wilayah 712.479,65 Km2 memiliki
laut dengan luasan mencapai 92,4% (658.294,69
Km2) dibandingkan dengan daratannya yang luasnya hanya 7,6%(54.185
Km2). Letak geografis Maluku menyebabkan keadaan
oseanografinya memberikan beberapa keuntungan yang membuatnya kaya akan
sumberdaya ikan. Laut Banda misalnya menjadi tujuan ruaya beberapa jenis
pelagis besarseperti tuna sebagai feeding dan spawning ground jenis tersebut.
Dengan jumlah pulau sebanyak 1411 buah juga memungkinkan dikembangkannya
berbagai kegiatan budidaya laut dan payaudi Provinsi ini. Semua potensi
kelautan perikanan Maluku tersebut dapat dikelompokan menjadi potensi perikanan
tangkap, perikanan budidaya serta pesisir dan pulau kecil, yang dapat
dijelaskan sebagai berikut.
1.1.1. Potensi Perikanan Tangkap
Wilayah
laut Provinsi Maluku memiliki potensi sumberdaya ikan yang sangat besar, yang
kesemuanya terbagi kedalam 3 (tiga) WPP (wilayah Pengelolaan Perikanan).
Berdasarkan hasil kajian potensi sumberdaya ikan nasional yang dilakukan oleh
Kelompok Pengkajian Stok Ikan Nasional, potensi ikan pada ketiga Wilayah
Pengeloaan Perikanan (WPP) di Provinsi Maluku tersebut adalah sebagai berikut :
(1)
WPP Laut Seram dan Teluk Tomini
diperoleh nilai potensi sebesar 587.000 ton/tahun yang didominasi oleh ikan
pelagis kecil (378.800 ton/tahun), ikan pelagis besar (106.000 ton/tahun) dan
ikan demersal (83.800 ton/tahun). Pada WPP ini terdapat tingkat
pemanfaatan yang baik
dan peluang pengembangan pada sumberdaya
ikan pelagis besar, pelagis kecil dan ikan demersal. Untuk
komoditas Udang Penaeid
telah melampaui kapasitas
atau telah terjadi
over fishing
sehingga perlu dibatasi
aktifitas penangkapannya.Adapun
total potensi yang tersedia secara keseluruhan adalah sebesar 587.000
ton/tahun, sedangkan total jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) secara
keseluruhan adalah 469.500 ton/tahun.
(2) WPP Laut
Banda diperoleh nilai potensi sebesar 248.400 ton/tahun yang didominasi oleh
ikan pelagis kecil (132.000 ton/tahun), ikan pelajik besar (104.100 ton/tahun)
dan ikan demersal (9.300 ton/tahun) dengan total jumlah tangkapan yang
diperbolehkan sebesar 198.700 ton/tahun. Untuk WPP Laut Banda secara total
potensi yang tersedia adalah sebesar
248.400 ton/tahun, dengan total jumlah tangkap yang diperbolehkan 198.700
ton/tahun. Hasil kajian untuk WPP ini juga menunjukan bahwa, telah terjadi
aktifitas tangkap lebih (over fishing)
terutama jenis ikan pelagis kecil, ikan demersal dan cumi–cumi, sedangkan
peluang pengembangan masih dapat dilakukan pada sumberdaya perikanan pelagis
besar.
(3)
WPP Laut Arafura diperoleh nilai potensi
sebesar 792.100 ton/tahun yang didominasi oleh ikan pelagis kecil (468.700
ton/tahun), ikan demersal (246.800 ton/tahun) dan ikan pelagis besar (50.900
ton/tahun).Untuk WPP Laut Arafura pengkajian yang dilakukan
menunjukan adanya ketersediaan potensi sumberdaya ikan secara
keseluruhan sebesar 792.100 ton/tahun, dengan total jumlah tangkapan yang
diperbolehkan (JTB) sebesar 633.600 ton/tahun.
Pada WPP ini terdapat peluang untuk
pengembangan penangkapan ikan pelagis kecil, sedangkan untuk sumberdaya ikan lainnya telah mendekati tingkat
kejenuhan
tetapi belum terjadi over fishing, sehingga memerlukan tindakan pengelolaan secara
terbatas.
Aktifitas usaha penangkapan ikan yang telah dilaksanakan di ketiga WPP diatas, hingga Tahun 2010 menghasilkan
produksi ikan sejumlah 368.132,3 ton. Jumlah ini
baru 28,27% dari potensi sumberdaya ikan yang tersedia, namun karena ketiga WPP tersebut dikelola juga oleh
Provinsi lain, maka hasil kajian menunjukan tingkat pemanfaatannya
telah mencapai 42%.
1.1.2. Potensi Budidaya Perikanan
Provinsi Maluku juga mempunyai
peluang yang sangat besar untuk pengembangan budidaya perikanan, dilihat dari lingkungan
strategis dan potensi sumberdaya lahan yang tersedia, utamanya untuk budidaya perikanan laut (marine culture) dan perikanan air payau.Lahan budidaya perikanan laut yang
tersedia di Provinsi Maluku mencapai luas sekitar 495.300
Ha, dengan tingkat pemanfaatan
baru sekitar 5 %. Potensi perikanan budidaya air payau Provinsi Maluku memiliki
lahan potensial seluas 191.450 Ha dengan tingkat pemanfaatan 3,5%, yang dapat
dikembangkan untuk budidaya udang dan bandeng. Sedangkan luas lahan efektif
yang dapat dikembangkan untuk budidaya air tawar diperkirakan mencapai 11.700
Ha, utamanya di Pulau Seram dan Buru,
dengan tiingkat pemanfaatan dibawah 2 %.
Selain ketersediaan areal budidaya, juga tersedia potensi suplai
benih bagi kegiatan budidaya, baik benih dari alam maupun dari pusat
perbenihan. Sebagai informasi Loka Budidaya Laut Ambon setiap minggu bisa
membuang 35 ribu ekor benih ikan kerapu ke perairan Teluk Ambon Dalam, karena
rendahnya permintaan untuk kegiatan budidaya laut.
1.1.3. Potensi Pesisir Pulau Kecil
Beberapa ekosistem khas
pesisir di Provinsi Maluku seperti mangrove, lamun serta terumbu karang,
memiliki luasan yang signifikan untuk mendukung keberadaan dan keberlanjutan
potensi perikanan kelautan lainnya terutama sumberdaya ikan. Ekosistem mangrove
yang ada di Provinsi Maluku diperkirakan seluas 1.322.907 Km2, sedangkan eksistem terumbu karang seluas
1.323,44 Km2, dan lamun seluas 393,07 Km2. Selain itu ribuan pulau besar kecil
di provinsi ini juga menyebabkan panjangnya garis pantai yang ada, dimana diketahui
sekitar 10.630,10 km panjang garis pantai di
Maluku atau 13 % dari total panjang garis pantai di Indonesia. Garis pantai
yang panjang tersebut memungkinkan berlangsungnya berbagai kegiatan pesisir
terutama kegiatan budidaya laut.
1.2.
Dukungan Kelembagaan dan
Sarana Prasarana Kelautan Perikanan
Hingga saat ini terdapat
beberapa kelembagaan dan sarana prasarana di Provinsi Maluku, yang dapat
digunakan untuk mendukung pemanfaatan potensi kelautan perikanan yang besar
tersebut. Kelembagaan yang ada meliputi lembaga pendidikan penunjang suplai
sumberdaya manusia, lembaga penelitian penunjang teknologi, serta lembaga
produksi penunjang bahan produksi.
1.2.1. Lembaga Pendidikan
Lembaga pendidikan yang
ada meliputi strata pendidikan menengah umum hingga strata pendidikan tinggi,
serta lembaga pendidikan non strata. Lembaga-lembaga pendidikan tersebut yaitu
Sekolah Usaha Perikanan Menengah (SUPM), serta beberapa perguruan tinggi
seperti Akademi Maritim, Universitas Pattimura, Universitas Darusallam, Sekolah
Tinggi Perikanan Neira dan Politeknik
Perikanan Tual. Sedangkan lembaga pendidikan non strata adalah lembaga yang lebih
bertujuan untuk meningkatkan ketrampilan sumberdaya manusia kelautan perikanan,
seperti Balai Ketrampilan Penangkapan Ikan (BKPI), serta beberapa Balai lainnya
yang disamping bertujuan mengembangkan teknologi dan memproduksi bahan dan
sarana produksi, juga memberikan ketrampilan kepada pelaku kegiatan kelautan
perikanan.
1.2.2. Lembaga Penelitian
Lembaga penelitian yang
berkontribusi bagi pengembangan teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan
antara lain meliputi lembaga penelitian yang berada dalam lembaga pendidikan
seperti Fakultas Perikanan dan Fakultas Teknik Perkapalan pada Universitas
Pattimura dan Universitas Darusallam. Selain itu terdapat juga beberapa lembaga
penelitian dibawah kendali pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dimana
sebagian dari lembaga ini selain mengembangkan teknologi juga berperan dalam
suplai bahan dan sarana produksi. Lembaga-lembaga penelitian tersebut adalah LON
LIPI Ambon, Loka Budidaya Laut Ambon, BPSDM Ambon, Balai Budidaya Ikan Payau
Masika Jaya dan Balai Budidaya Laut Tual, serta Balai Benih Ikan Air Tawar
Waiheru.
1.2.3.
Lembaga dan Sarana Pendukung Lainnya
Sarana Prasarana lain
pendukung kegiatan kelautan perikanan di Provinsi Maluku antara lain beberapa
pelabuhan perikanan, Laboratorium Pengujian Pengontrolan Mutu Hasil Perikanan,
serta beberapa pelabuhan udara dengan penerbangan rutin berjadwal.
Di Provinsi Maluku
terdapat 13 pelabuhan perikanan yang tersebar pada semua Kabupaten Kota, namun
demikian hanya ada 6 pelabuhan perikanan yang saat ini dapat dimanfaatkan.
Pelabuhan tersebut adalah PPN Pandan Kasturi dan PPI Eri di Ambon, PPN Dumar di
Tual, PPI Masarette di Buru,PPI Amahai di Masohi dan PPI Tamher di Seram Timur.
Pelabuhan-pelabuhan perikanan lainnya sebagian besar sedang dalam penyelesaian
pembangunan, sehingga kedepan diharapkan dapat mendukung kegiatan kelautan
perikanan di wilayah lain. Pelabuhan-pelabuhan ini adalah PPI Piru di Seram
Barat, PPI Neira di Pulau Banda, PPI Kelvik Taar di Maluku Tenggara, PPI Dobo
dan PPI Kalar-Kalar di Kepulauan Aru, PPI Saumlaki di Maluku Tenggara Barat dan
PPI Wetar di Maluku Barat Daya.
Terdapat juga 3
Laboratorium Pengontrolan Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP) yang dapat mendukung
kegiatan ekspor dan intra seluler produk kelautan perikanan di Maluku.
Laboratorium-laboratorium tersebut tersebar di Ambon, Tual dan Dobo.
Pelabuhan-pelabuhan udara
yang telah menyelenggarakan penerbangan rutin berjadwal setiap hari adalah Pelabuhan Udara Tual, Dobo, Saumlaki, Bula dan Ambon.
Pelabuhan-pelabuhan udara ini terhubung langsung dengan Ambon sebagai pintu
keluar menuju pelabuhan internasional lainnya, dimana beberapa dari pelabuhan
udara ini seperti Tual, Saumlaki dan Dobo memiliki jadwal penerbangan rutin lebih dari
satu kali ke Ambon.
Secara nasional
Kementerian Kelautan dan Perikanan memiliki visi utama untuk menjadikan
Indonesia sebagai penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar pada Tahun
2015. Visi tersebut perlu didukung melalui beberapa program dimana salah satu
dari program tersebut dapat dilakukan pada wilayah kelautan perikanan dengan
potensi terbesar di Indonesia yaitu wilayah kelautan perikanan Provinsi Maluku.
Berdasarkan fakta potensi dan dukungan kelembagaan diatas, sudah seharusnya kekayaan
sumber daya laut tersebut dapat mendatangkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi
masyarakat Maluku pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Selain itu, Provinsi Maluku juga dapat menjadi
Lumbung Ikan Nasional, mengingat besarnya potensi
sumber daya ikan yang dikandung oleh perairan lautnya.
1.2. Potensi Nelayan Lokal
Dari data statistik
Dinas Kelautan dan Perikanan Tahun 2010 dapat dilihat bahwa jumlah Rumah Tangga
Perikanan (RTP) sebsesar 59.619; jumlah armada
penangkapan 50.492 buah; jumlah unit
alat penangkapan 65.409 buah dengan
total produksi 750.933,9 ton. Jumlah RTP nelayan pembudidaya sebesar 13.724 ;
dengan luas areal budidaya 6.326 Ha, dengan total produksi sebesar 379.969
III. KAJIAN PENYEBAB
MASALAH
Pada dasarnya,
prinsip pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia telah diatur
jelas pada
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 (dikenal dengan sistem pengelolaan
bersifat state
property), sehingga sumberdaya perikanan di Indonesia bersifat quasi
open
access, dimana sumberdaya tidak sepenuhnya dapat diakses karena adanya peraturan
yang mengatur. Namun, seringkali aturan dibuat tidak dengan cara partisipatif
dan merupakan hasil pertimbangan dari pemerintah pusat tanpa memperhatikan
aspek sosial ekonomi masyarakat setempat. Akibatnya kebijakan-
kebijakan yang
dikeluarkan justru menimbulkan masalah-masalah baru karena masing-masing pihak
memiliki kepentingan, keinginan dan prioritas yang berbeda-
beda. Perbedaan
kepentingan, keinginan dan prioritas yang ada merupakan sumber pemicu munculnya
konflik .
Dari data potensi
perikanan yang ada, dapat dilihat bahwa dengan potensi yang ada nelayan lokal akan kalah untuk dapat
mengambil bagian dalam program kebijakan Lumbung Ikan Nasional. Hal yang paling
ditakutkan adalah tidak mampunya nelayan lokal bersaing dengan
perusahan-perusahan besar yang akan melakukan investasi penangkapan di perairan
laut Maluku. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan dalam segi modal dan
peralatan yang dimiliki oleh nelayan lokal, sehingga dapat memicu permasalah
baru atau konflik antara nelayan lokal dengan perusahan-perusahan yang
dilengkapi dengan armada- armada tangkap yang berteknologi canggih.
IV. EVALUASI
KEBIJAKAN LUMBUNG IKAN
Dalam satu tahun terakhir ini, Pengembangan Lumbung Ikan Nasional di Maluku merupakan sebuah konsep yang besar sehingga tidak terfokus pada apa yang perlu dan
harus dilakukan. Banyak sarana dan prasarana serta infrastruktur, yang belum memadai untuk menunjang program
raksasa tersebut. Selain itu kesiapan masyarakat khususnya masyarakat nelayan
di Maluku masih jauh dari harapan.
V. ALTERNATIF KEBIJKAN
Bertolak dari evaluasi diatas maka alternatif kebijakan yang dapat diambil
adalah KKP melihat program secara tidak
meluas namun lebih terfokus. Pengembangan Lumbung Ikan Nasional di Maluku ke depan,
harus lebih spesifik sehingga ke depan pemerintah daerah dapat melihat hal
tersebut secara tematis, dengan memfokuskan pada Satu Produk Unggulan Perikanan dari Maluku.
VI. KEBIJAKAN ALTERNATIF TERBAIK
Dari alternatif kebijakan yang diambil, maka dapat
diambil sebuah kebjikan yang paling terbaik adalah, Maluku dijadikan sebagai
produsen Mutiara dunia. Hal ini dikarenakan Provinsi Maluku merupakan penghasil mutiara
terbaik di Indonesia, namun pengembangan pengelolaannya belum maksimal
dibanding daerah-daerah penghasil mutiara lainnya di Indonesia.
SUMBER :
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku. 2010. Buku Tahunan Statistik
Perikanan Tangkap. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku. Ambon.
Soselissa, A., 2011. Bahan Kuliah Analisis Kebijakan. Program Pasca
Sarjana, Universitas Pattimura Ambon.